Kumpulan Cerpen, Novel, Puisi, Komunitas Penulis, Lomba Menulis Cerpen dan Novel

Juwita Hati: Tuntutan sang Pacar

Cerita ini 100% fiktif belaka.
Apabila ada kemiripan tokoh dan kesamaan nama dalam cerita, salah lo sendiri punya nama yang sama, hehehe
Kan elo sendiri jadi seneng, namanya jadi beken di cerita ini


SUASANA pagi di sebuah rumah kost lantai dua yang berbentuk bangunan joglo dan berhalaman luas itu terasa sepi, nyaman dan sejuk. Banyak pohon rindang yang tumbuh seperti pohon mangga yang mulai berbuah, pohon talok, pohon kelapa muda yang nyiur melambai, beberapa pohon besar, dan sejumlah tanaman hias—dengan bunga-bunga yang cantik—mengelilingi area bangunan kost. Beberapa sangkar burung yang berisi makhluk lucu bersayap dan bersuara merdu ikut menyemarakkan suasana pagi yang cerah. Semilir angin sepoi-sepoi yang berhembus mengakibatkan bergeseknya dedaunan pohon, sehingga menimbulkan suara gemerisik untuk menyempurnakan dendang merdu kicauan burung Si Empunya kost.
Di salah satu sudut kost, ada sebuah kamar yang menghadap kearah halaman depan. Kamar kost yang sedikit berantakan, khas kamar seorang cowok. Di dinding kamar yang bercat putih gading tertempel berbagai poster diantaranya Slash gitaris Gun&Roses, Dave Grohll drummer-nya Foo Fighter, SlipKnot, Incubus, dan ada juga The Legend Iwan Fals. Mereka terbingkai indah menghiasi kamar seorang cowok bertampang ganteng, putih, berpostur tinggi, berambut gondrong dreadlock rasta sebahu, dan berpenampilan metal. Nama yang diberikan oleh kedua orang tuanya adalah Brian Kusuma Wardhana, atau yang lebih akrab di sapa dengan panggilan Bre oleh temen-temen kampusnya.
Sosok Bre, hmm...idealis yang mengidolakan Sigmund Freud itu bukanlah terlahir untuk menjadi pribadi yang introvert, dan tidak pula sebagai penyandang schizoprenia. Seorang aktivis kampus dengan kemampuan orator yang sangat luar biasa. Kemampuan yang tiada duanya, ketika menggerakkan massa mahasiswa untuk turun ke jalan menentang kebijakan kampus yang di rasa merugikan khalayak mahasiswa, maupun menentang kebijakan pemerintahan yang menyengsarakan rakyat. Untuk kemampuan akademiknya pun bisa dibanggakan, terbukti pencapaian IP yang diatas rata-rata disetiap semester. Dia menjadi sumber contekan temen-temen sekelas. Ditambah lagi Bre adalah seorang gitaris band kampus merangkap vocal—penampilannya senantiasa—terlihat cool dan flamboyan ketika perform on stage. Dengan suara khasnya yang serak, Bre selalu berhasil membius para penonton yang melihatnya ketika perform menjadi band pengiring Boomerang. Suaranya terdengar gahar dan nge-rock abis saat membawakan music cadas. Maka tak heran, dengan berbagai atribut yang disandangnya, Bre menjadi sosok yang begitu familiar di lingkungan kampus. Dari kalangan Rektorat, para dosen, staff kampus, mahasiswa awal sampai yang sudah senior, dari pedagang di kantin sampai tukang becak yang biasa mangkal didepan kampus pun tahu, siapa itu Bre. Penampilannya terlihat Hellboy tapi berjiwa Playboy, itulah ciri khas seorang Don Juan. Kemampuan bersosialisasi dengan tidak membeda-bedakan dari golongan dan dari status sosial apa teman-temannya berasal, menjadikan Brian menjadi sosok yang begitu disegani baik oleh kawan maupun lawan politiknya di BEM maupun HMJ.
Di langit-langit kamarnya terdapat tempelan semacam stiker bulan dan bintang dari bahan fosfor, yang akan telihat menyala disaat lampu neon dipadamkan ketika malam menjelang. Sebuah fan kecil untuk sekedar penghilang rasa gerah pun tergantung cantik diatas langit-langit kamar untuk menemani keberadaan sang bulan dan sang bintang. Lantai keramik putih terlihat bersih, tapi meja belajar yang diatasnya terdapat monitor LCD komputer terlihat berserakan dengan berbagai macam buku. Baik buku diktat materi kuliah maupun buku-buku fenomenal karya alm. Bastian Tito, buku filsafat karya Darwin, Aristoteles, Galileo, ataupun Stalin. Memang berat juga kadar bacaan Brian alias Bre ini, tapi dengan buku-buku itu pula Bre menjadi seorang pemuda yang mempunyai otak brilian. Ada juga koleksi buku Don’t Sweat For Small Stuff, buku music karya Mozart, dan buku The Darkness Of The Earth.
Di atas dipan berbusa itu—dalam kamar kost—tampak sepasang muda-mudi sedang berdiskusi. Kedua manusia itu sedang membahas laporan tebal yang dipegang oleh Si Gadis. Sesekali dipan mengeluarkan bunyi berdecit karena aktivitas yang dilakukan kedua manusia diatasnya, membalas sapa suara gemerisik daun yang terhembus angin, dan suara burung yang berkicau merdu saling bersahut-sahutan. Sepasang anak manusia bernama Brian alias Bre dan gadis cantik berwajah tirus dengan rambut ikal terawat adalah sang Pacar, yang bernama Karen—seorang spg freelance—berasal dari Kalimantan. Mereka berdua satu kampus dan satu fakultas.
“Gimana Bre dengan permintaan gue kemarin? Mau kan lu ngelamar gue? So, begitu kelar kuliah kita langsung married,” ujar Karen enteng sembari membolak-balikan kertas laporan.
Bre pun terkejut, langsung menimpali ucapan Karen, “Waah ga bisa kaya gitu dong! Gila apa langsung married. Gue masih muda lagii, gue pengen nyari kerja yang bener dan berkarier dulu. Udah gitu, gue juga mo nyenengin ortu sama keluarga. Gila lu ahh!”
“Yaa ga bisa gitu juga dong Bre, lu musti ketemu bokap-nyokap gue dulu...”
Percakapan Bre dan Karen pun semakin memanas.
“Karen, kita masih muda, jalan kita masih panjang. Gue belon mau terikat secara serius! Lagian elu liat kan, gue masih kesulitan dengan satu mata kuliah yang ga lulus-lulus, meski udah gue ulang keempat kalinya. Eee... Lu bukannya bantuin atau gimana kek, malah yang dipikirin setiap kali ketemu gue pasti dah pokok bahasaannya married, married, dan married. Emang gue punya tampang penghulu petugas KUA apa?? Gue bisa depresi tau ga? Kalo setiap ketemu pasti lu nanya kapan married, kaya iklan aja. Jangan siksa gue, pliss!!” dengan gamblang Bre menjelaskan semuanya sembari menyulut rokok.
“Lu pasti gitu, ngeles terus. Alesan terus dari pertanyaan gue!! Kalo depresi yaa itu derita lu. Jangan cemen dong jadi cowok!”
“Jangan rongrong gue dong, jadi cewek!!”
“Ooo.. Jadi selama ini lu ngerasa gue rongrongin??”
“Tepat!! Nah tuh juga kelakuan lu yang malah ngatain, kalo depresi yaa derita lu. Apaan kaya gitu!”
“Kenapa emang? Haah?!”
“Karena cara berpikir lu itu terlalu pendek, terlalu sempit. Udah ahh, udah!! Bikin kusut otak aja. Gue mau ke perpustakaan kampus. Lu mending balik pulang aja deh Kaar.....”
“BLAARR!!!” Suara pintu kamar kost Bre terdengar terbanting keras, seiring kepergian Karen meninggalkan Bre begitu saja. Brian cuek bebek dengan kelakuan Karen yang ga bermutu dan childish itu. Dasar cewek! Dulu aja waktu gue PDKT susahnya minta ampun. Jaim lah, sok penting lah. Tapi giliran udah jadian malah suka maksain kehendak, ngekang, dan ngerongrong gue. Bikin kusut otak aja. Termasuk kejadian pagi ini di kamar. Huuftt.. Bener-bener daah! Apa emangnya kebanyakan cewek tuh kaya gitu? Aah masa bodoh.

***

Sekarang, aktivis kampus yang sedang galau itu beranjak jalan menuju ke perpustakaan untuk mengurai otak kusutnya yang selalu merasa di rongrong oleh Karen. Jalan yang membelah gedung induk kampus terlihat lenggang. Hanya sedikit mahasiswa yang terlihat berlalu-lalang. Kadang terdengar suara jerit teriakan, kemudian disusul suara tawa berderai yang berasal dari salah satu sudut bangunan rektorat. Di sana ada sekelompok mahasiswa-mahasiswi yang lagi asyik bercengkerama sambil bersenda-gurau.
Setelah membalas sapa temen-temennya walau hanya sekedar say hallo ataupun lambaian tangan, Bre pun melanjutkan langkah kakinya yang gontai tertutup sneakers merah menuju ke perpustakaan. Dia berjalan membelah taman kampus yang cukup rindang dengan pohon-pohon yang berdiri gagah seakan menantang pancaran cahaya sinar matahari, untuk melindungi siapa saja yang berteduh dibawah rindangnya sang pohon. Bunga-bunga yang mekar elok penuh warna dari tanaman hias pun bener-bener memukau siapa saja yang melihatnya. Angin yang berhembus lumayan kencang, mampu menerbangkan daun-daun pohon yang telah menguning dan kering. Mereka tersapu terbang jauh oleh Sang Bayu. Hmm.. Hari yang indah bagi jiwa yang sepi.
Setelah sesampainya di perpustakaan kampus tercinta, Bre segera menuju ke tempat rak buku, untuk mencari sebuah buku referensi yang ingin di bacanya. Ketika sedang asyik memilih buku, Bre pun ga sengaja menyenggol sejumlah tumpukan buku, dan.. “BRAAKK!!” Suaranya terdengar sangat keras di dalam ruang perpustakaan yang hening, sehingga sejumlah orang yang sedang asyik membaca atau menulis pun tersentak kaget.
“Jangan berisik ahh!”
“Huu.. Rese lu bikin kaget aja!!”
“Ati-ati dong!”
“Sssstttt!!!”
Dan berbagai kecaman langsung menyerang sosok Brian dari segala arah delapan penjuru mata angin. Tak terkecuali kedua gadis yang langsung berbisik-bisik sambil melirik Brian yang tampak sibuk merapikan kembali buku-buku yang berserakan. Bre tau jelas, kalo dirinya sedang digunjingkan oleh kedua gadis yang duduk didekat kaca jendela. Bre menatap kedua gadis itu.
“Wuih, cewek yang berbaju merah cantik bangeett. Anggun, rambut lurus berkilau sepertengahan punggung, wajahnya berkulit putih cerah, matanya bening, hidungnya bangir, bibir mungil yang tipis kemerahan, dan..daan..amboi..lesung pipit itu duhai menawan, dan.....,” gumam dalam hati Bre pun buyar, ketika terdengar suara dehem dari mulut mungil cewek baju merah itu dan pelototan mata beningnya.
“Ehemm! Ehemm!! Apa genderuwo boleh masuk di perpustakaan ini ya, Res?” gumam cewek berbaju merah menyindir dengan suara agak keras biar terdengar oleh Bre.
“Ga tau gue, mungkin iya dan mungkin juga tidak..,” jawab temennya dengan mengangkat kedua bahu.
“Soalnya ada yang serem gitu. Hiii...,” imbuh cewek berbaju merah sesekali melirik kearah Bre dan sesekali pula pandangan mata mereka berdua ketemu.
“Aseem! Gue dibilang kaya genderuwo, kurang ajar! Tapi gapapa lah, yang bilangkan cewek cakep,” kata Bre dalam hati.
“Ssstt! Ssttt!! Liat Res, liat..dia garuk-garuk kepala tuuh. Pasti dapetnya kecoak yaa. Hihihi...,” cewek berbaju merah dan temennya itu terus aja usil menggunjing Bre sambil terkikik, karena mengetahui Bre lagi menggaruk kulit kepala yang sebenarnya tidak gatal. Melainkan lagi buntu memikirkan satu mata kuliah yang ga lulus-lulus. Padahal Bre yakin kalo mampu mengerjakan ujian maupun kuis. Ditambah persoalan dengan Karen yang semakin membikin otaknya kram. Bre jelas keki disindir oleh kedua cewek kampus itu. Tiba-tiba, berlagak seolah sedang membaca buku yang dipegangnya, Bre pun menyeletuk, “Hmm.. Ternyata ada teori yang menyatakan, Jika ada seseorang yang suka menggunjing orang lain, dan itu menjadikan sebuah kepuasan atau kesenangan sesaat dari orang yang menggunjing orang lain tersebut, maka seseorang itu dikategorikan berjiwa sakit secara psikologi..”
“Hahaha.. Mampus kaga lu...,” ucap Bre dalam hati sambil tertawa puas, kemudian melirik kearah mereka berdua.
Cewek berbaju merah tampak kaget dan terbengong mendengar seloroh Bre. Temennya cuma terkikik sambil menyikutkan sikunya kearah rusuk cewek berbaju merah.
“Makanya gasah aneh-aneh lu! Meskipun gondrong dan berpenampilan metal tapi ternyata smart juga orangnya. Hmm.. Ganteng juga lhoh, Ujie mah jauuh..hihihi...,” ujar temen si cewek berbaju merah sambil melirik menggoda.
“Apaan sih lu.. Huuu!”
Sementara itu Bre terlihat berpikir serius, “Mmm.. Gue harus menulis berbagai planning, harus ngapain aja dalam menghadapi the killer lecture itu. Masak cuma gara-gara mata kuliahnya, gue gagal meraih gelar kesarjanaan?? Hmm.. Kemudian gue juga harus bikin tulisan mengenai rencana-rencana impian gue. Oke siip!!” gumam Bre pelan tapi bersemangat. Bre mengambil kertas dan bollpoint. Dia menulis angka 1 di kertas. “Sret” kok ga keluar? Dicobanya lagi menulis. “Srett” waduh masih ga keluar juga. Sekali lagi dicoba menggoreskan bollpoint-nya, “Srett” tetep aja ga keluar tintanya alias macet.
“Aaaah!!! Kampret!! Pake acara macet segala. Baru mau menulis rencana impian menuju kesuksesan aja udah terhambat, gimana menjalaninya?? Huuft!!” rutuk Bre kesal.
Tiba-tiba aja Bre teringat dengan makhluk cakep yang tadi selalu menyindirnya. Bre pun berjalan kearah dua gadis itu.
“Maaf, boleh pinjem bollpoint-nya? Sebentar kok...,” ujar Bre ramah.
“Ehh.. Mmhh..gimana yaah..emhh...,” cewek berbaju merah terlihat gugup dan grogi dipandang oleh mata elang Bre.
“Udah pinjemin ajaa gapapa.. Tapi jangan lama-lama ya mas!” ucap si temen cewek berbaju merah pada Bre seraya menyerahkan bollpoint.
Si cewek berbaju merah cuma terbengong, ketika temennya merebut bollpoint parker yang sedang dipegangnya dan segera dipinjamkan kepada cowok ganteng berambut dreadlock itu.
“Makasih yaa, tenang aja aman kok, hehehe...,” kata Bre ramah sambil menebarkan ranjau senyuman mautnya. Bre kembali duduk di kursi panjang yang saling berhadapan dengan kedua gadis yang duduk di depannya. Dia mulai menggoreskan bollpoint diatas kertas. Cukup lama juga Bre sibuk menguas dan menggoreskan tinta bollpoint parker itu. Kadang tersenyum sendiri, tapi kadang juga alisnya berkerut tajam berpikir serius, terus terdiam sesaat. Udah gitu tiba-tiba langsung garuk-garuk kepala, kemudian melanjutkan lagi aktifitasnya yang kalo orang lain melihatnya pasti akan tersenyum simpul oleh tingkahnya.
“Balik yuuk, dah siang neh...,” ajak gadis berbaju merah.
Bollpoint lu gimana?”
“Lu ambil dong, kan lu yang minjemin..”
“Tapi kan punya lu..”
“Yeee, ga bisa gitu kalee, orang elu tadi yang langsung ngerebut bollpoint dari tangan gue kok!” sahut cewek berbaju merah dengan galak.
“Iyaa-iyaaa, tapi gue takut mintanya. Liat, dia senyum-senyum sendiri kan? Jangan-jangan, gila nya kumat. Hii...”
“Aah sialan lu, kalo gitu kita samperin aja berdua..”
Bre pun memandang hasil coretan pada kertasnya, dan kemudian menepuk jidatnya sendiri. “Bego!! Kok gue malah gambar sketsa wajah cantik cewek baju merah itu sih? Padahal kan mo bikin planning impian gue? Aah, ternyata ada hambatan kedua lagi deh,” kata Bre dalam hati, kemudian dia melihat kedua cewek itu berjalan kearahnya dengan ragu-ragu. Bre pun langsung tanggap dan menyerahkan bollpoint parker punya cewek baju merah seraya berujar, “Makasih yaa, sori lama. Eh, ni pada mo pulang? Bareng yuuk..”
“Iya mo pulang. Ayok aja kalo mo barengan,” sahut temen cewek berbaju merah.
Cewek cantik yang berkesan anggun itu terlihat selalu diam selama berjalan meninggalkan perpustakaan kampus. Bre pun asyik menyensorkan mata ke arah tubuh semampai cewek berbaju merah. “Gila jack! Kulit putih bangeett. Dahsyat man!!” batin Bre. Mereka bertiga berpisah di sebuah perempatan. Cewek berbaju merah belok kanan memasuki jalan kampung Sidomukti, temennya jalan lurus, dan Bre sendiri belok kiri menuju rumah kosnya.
Tulit.. Tulit..1 new message:

^Karen_BaweL^
Besok ke Lembang yuuk.. Lama kita ga kesana. Pokoknya harus mau, titik!!


Aaarrgghhh!! Nampak raut muka kesal dari wajah Bre...


Bagaimana hubungan Bre dengan Karen??
Siapa pula cewek berbaju merah itu??
Bagaimana dengan mata kuliah Bre yang ga lulus-lulus??
Nantikan di postingan selanjutnya, hehehe....


Tag : Cinta, Fiksi, Novel
0 Komentar untuk "Juwita Hati: Tuntutan sang Pacar"

Untuk diperhatikan!!!

1. Dalam berkomentar gunakan bahasa yang sopan
2. Dilarang menyisipkan link aktif
3. Komentar yang mengandung unsur kekerasan, porno, dan manyinggung SARA akan dihapus

Back To Top