PAGI yang cerah saat sinar mentari menampakkan
sulur-sulur lidah emasnya menjilati persada. Daun-daun hijau di pepohonan
kampus Bre melambai syahdu seakan menari riang, menyambut sejuk embun yang
sedang mencumbu mesra gugusan hati setiap insan, mengajak ikut serta tertawa
riang menyambut bingkai harapan yang setiap pagi berhamburan, menunggu
telangkup tangan-tangan penuh semangat dan keyakinan tinggi dalam mengayunkan
langkah merengkuh impian. (Kok jadi
berpuisi ria ga jelas gini yaa?)
“Bre....!!!” teriakan nyaring seorang laki-laki dengan karakter serak-serak
basah-becek terdengar begitu memprihatinkan bagi Bre karena memang sangat tidak
merdu sekali di dengarnya.
“Oii...Bet...!!!” balas Brian Kusuma Wardhana pada suara tak merdu itu yang
ternyata adalah suara milik Karebet, sohib kental Bre.
“Bre, denger punya denger, lu udah baikan sama Putri Es ya? Wah, lu apain
tuh ratu jutek sampai dia bisa sejinak itu??” sambung Karebet sambil berusaha
mengiringi langkah Bre menuju gerbang kampus.
Gerak tubuh kocak Karebet yang menirukan gerakan paskibraka dengan langkah
tegap maju jalannya saat mengiringi langkah Bre membuat para mahasiswa lain
yang melintas menjadi tersenyum dan saling berkasak-kusuk sendiri membicarakan
kekonyolan Karebet.
“Ah lu...ngegosip aja kerjaannya...kayak ibu-ibu PKK aja lu! Biasa aja
kalee..!!” Bre berucap sambil tangan kanannya bergerak membentuk sisir dan
berusaha merapikan rambut gondrongnya yang saling tumpang tindih akibat terpaan
sang Bayu, seperti ingin menyapa dan mengucapkan kata selamat pagi pada Bre.
“Bukan begitu Bre, gue cuma khawatir sama Bu Carisses. Gue khawatir dia
ikutan digebet sama elu...lu kan buas Breee..!!” lanjut Karebet sambil mulutnya
mencibir.
“BU CARISSA!! Bukan CARISSES...dodolll!!” teriak Bre lantang di samping
telinga Karebet sehingga membuat Karebet melompat dan hampir terperosok ke
selokan yang ada di samping jalan yang mereka lalui.
“CARISSESSSS!!! CARISSA SI PUTRI ES disingkat jadi CARISSES hahaha.....,” balas
Karebet sambil berusaha menjauh dari tepi selokan karena takut akan mengalami
musibah serupa yang kedua kalinya.
“Heiii...lu hati-hati ya kalau ngomongin gebetan gue!! Gue laporin sama
yang punya nama, baru tahu rasa lu!” Bre mendelik sok galak namun sama sekali
tak menimbulkan rasa takut sedikitpun bagi Karebet karena dia sangat kenal
siapa itu Bre. Namun diluar itu semua, kata-kata 'gebetan' itulah yang membuat
Karebet sedikit mengkerutkan dahi.
Di tikungan terakhir sebelum tangga naik ke lantai 2, Bre bertemu dengan
Karen dan Andi yang terlihat bergandengan mesra. Karebet sudah menghilang entah
kemana sesaat setelah Bre melotot padanya. Biasanya, Karebet akan mampir dahulu
ke kantin untuk memesan secangkir kopi dan menyulut sebatang rokok. “Rokok
dapat menenangkan pikiran sebelum nantinya digeber buat mikirin mata kuliah
yang rumit,” begitu kata Karebet setiap kali disinggung oleh Bre mengenai
kebiasaan 'sarapan’ aneh itu. Andi nampak tersenyum lebar saat Bre melintas.
Hanya Karen yang terlihat kikuk saat bertemu pandang dengan Bre. Karen nampaknya
masih canggung. Ada perasaan tidak enak pada Bre atau tepatnya sebuah perasaan
bersalah terhadap Bre. Namun Bre hanya tersenyum dan segera berlalu menaiki
tangga menuju ke lantai 2 kampusnya. Baginya, masa lalu tidak untuk dikenang apalagi diratapi.
“Brian...!!” Nampak seorang bapak-bapak setengah baya melambaikan tangannya
memanggil Bre. Beliau adalah Pak Baroto.
“Brian...saya tidak tahu apa yang telah terjadi pada Bu Carissa, tapi pagi
ini dia telah mencabut pengaduannya berkaitan dengan kasusmu. Ehmm..Beliau
merencanakan untuk memberikan ujian lisan dilengkapi saksi seperti yang kamu
minta, ada apa lagi ini Brian? Kamu dukunkan dia, ya?” ungkap Pak Baroto sesaat
setelah langkah kaki Bre terhenti sekian sentimeter dari hadapannya.
“Apa pak? Ujian lisan? Dengan saksi? Hehehe...luar biasa...menakjubkan
hahaha...,” balas Bre dengan berjingkrak mirip jangkrik disentil. Dia lupa
bahwa pria yang ada dihadapannya adalah bapak kepala dekan.
“Briannn...!!” bentak Pak Baroto kemudian setelah melihat aksi kuda jingkrak
ala Bre.
“Ehh, ii..iiya..Pak...maaf...dukun apaan sih pak...dukun cabul mungkin hehehe...” sergah Bre dengan agak
terkaget karena bentakan Pak Kumis itu.
Pak Baroto hanya melotot dan kemudian berlalu meninggalkan Bre yang
cengar-cengir seperti manusia hilang ingatan. Baginya, ini sebuah kenyataan
yang indah. Ia ingin segera merampungkan kuliahnya dan segera pula menyudahi
penderitaan orang tuanya yang sudah kembang kempis menyokong kebutuhan kuliah
Bre yang tidak sedikit. Dibenaknya melintas tubuh tegapnya yang berbalut baju
toga nan berwibawa. Sebuah impian yang akan segera menjadi kenyataan.
Bre terkaget saat tiba-tiba ada getaran dari HP yang
ada di saku celana jeans belelnya. Sebuah SMS rupanya. Brian...temui aku di rumah makan TEMPO DOELOE jam 4 sore ini!! Tertulis
SMS kiriman Bu Carissa yang terlihat begitu lugas dan tegas. Bre sedikit
merenung sejenak lalu kemudian kembali tersenyum dan kembali melangkahkan
kakinya dengan riang gembira laksana seorang pahlawan pulang dari sebuah
pertempuran dahsyat yang berhasil dimenangkannya.
***
“Silahkan duduk Brian...” ucap seorang wanita kepada
Bre yang baru saja menemukan meja tempat duduk Bu Carissa di rumah makan yang
dimaksud dalam SMS. “Mau pesan apa??” lanjut si wanita yang ternyata adalah Bu
Carissa sambil tersenyum manis semanis wajahnya yang menawan.
“Ehh..anu...ehh...sama aja deh Bu..,” Jawab Bre yang
terkaget karena dia sebenarnya sedang tertegun memandang Bu Carissa.
“Yee..kok main sama aja sih. Ya udah aku yang
pesankan, ya??” sambut Bu Carissa sambil melambaikan tangannya ke arah pelayan
yang sedari tadi ternyata juga sedang asyik menikmati penampilan Bu Carissa
yang manis itu.
“Brian, minggu depan jam 8 pagi kamu datang ke ruang
sidang 3, ya? Aku sudah menyiapkan ujian lisan buat kamu. Aku juga akan
menghadirkan Pak Baroto dan dua orang temanmu yang kuambil secara acak untuk
menjadi saksi ujian!” ungkap Bu Carissa di sela waktu sebelum makanan
dihidangkan.
Bre hanya mengangguk tanda patuh. Jauh di dasar
hatinya, Bre berteriak girang bukan kepalang. Penantiannya yang panjang dan
berliku, perjuangannya yang nekad, dan aksi mulut manisnya kepada Si Ratu Jutek
Putri Es telah membuahkan hasil yang gemilang. Segala kesulitan pasti ada jalan keluarnya jika kita mau berusaha.
“Bu...hari ini ibu terlihat cantik dan menarik sekali dengan
pakaian blazer itu!!” ucap Bre sambil memandang lekat-lekat ke mata indah Bu
Carissa yang sedang duduk dihadapannya.
“Ihh apaan coba...gombal kamu Bree!!” tampik Bu
Carissa dengan tersenyum malu-malu namun tanpa melepaskan pandangan dari tautan
mata Elang Bre yang terlihat begitu tajam, dalam, dan merasuk hingga ke relung
jiwanya terdalam yang telah lama kering kerontang. “Mentang-mentang udah
dikasih ujian lisan, terus sok perhatiannn!!!” imbuh Bu Carissa lagi namun kali
ini dibarengi dengan sebuah kedipan mata yang terkesan sedikit genit. Nampaknya
Si Putri Es telah kecanduan rayuan hangat Bre.
Saat makanan telah datang, Bre tak menyia-nyiakan
kesempatan makan gratis itu. Dengan rambut gondrong, pakaian serba sobek khas rocker, dan gaya makan seperti kambing
yang sudah tiga hari belum makan, jelas sekali terlihat seperti seorang wanita
cantik yang sedang makan bareng seorang gelandangan. Namun itulah Bre, seorang
yang cuek bebek. Biar orang berkata apa, yang penting easy going sajalah.
“Ehmm, Brian...sejak awal bertemu, aku memang sudah
ada perasaan sesuatu sama kamu. Hingga hari ini, ternyata aku merasa cocok dan
nyaman bersama kamu. Tapi terus terang, aku adalah dosen kamu, Brian. Aku
sebenarnya ingin sesuatu yang lebih dari hubungan ini, tapi bagaimana dengan
statusku sebagai guru didikmu. Ehh, kalau kamu mau, kita TTM saja bagaimana?
Selama para dosen dan teman-temanmu tidak mencurigai, aku rasa akan baik-baik
saja. Lagian, kita kan jalan dibelakang mereka. Pasti mereka tak akan menyadari
itu!!” Bu Carissa membuka sebuah pembicaraan serius setelah suapan sendok
terakhir berhasil mendarat tepat di mulut Bre tanpa meleset sedikitpun.
“Nyaemmm..emm..kita jalani saja apa adanya ya
Boo...!!” jawab Bre dengan mulut penuh makanan sehingga kata-katanya menjadi
tak jelas.
TUINGG!! Bu Carissa melemparkan sebuah tissue yang
digulung ke arah Bre sambil menahan senyum ketika melihat tingkah polah Bre
yang lucu tersebut.
“Iyahh..kita akan jalani ini dengan apa adanya..,” imbuh
Bu Carissa sambil sebelumnya menghela napasnya seakan merasakan sebuah polemik
terselubung namun begitu menarik untuk terus dijalani dan dinikmati meski
berasa berat dan mencekam.
“Hmm, tapi kemarin waktu masih riset, sebenernya aku
kenalan sama seseorang lewat jejaring sosial. Dia begitu dewasa dan
pemikirannya sangat berwawasan. Aku coba nge-test dia dengan berbagai pertanyaan, yaah sekedar pengen tau aja
gimana pola pikirnya. Dan setelah tahu, aku merasa cocok dengan dia, meski dia
lebih tua dari aku.”
“Kalo itu memang yang terbaik dan menjadi pilihan Ibu
Carissa, saya cuma mendukung aja. Tapi jangan lupa jatah makan-makan, yaa? Hehehe...,”
jawab Bre sambil garuk-garuk kepala.
“Iiii..iih..kamu itu maunyaa. Kasih enggak yaa??” goda
Ibu Carissa sambil memainkan bola matanya dengan jenaka.
“Emang siapa sih
Bu lelaki itu? Kenalin dong...,” pinta Bre penuh harap.
“Iyaa.. iyaaa, besok-besok bakal dikenalin deeh. Ga
usah penasaran kaya gitu dong..” jawab singkat sang Dosen.
***
Hampir seminggu setelah pertemuan Bre dengan Bu
Carissa di rumah makan. Hari itu hari Minggu. Matahari bersinar dengan gahar
dan menyengat pada pertengahan siang. Desiran udara yang menghembus dan
menyembul di antara lubang jendela kamar kost Bre terasa begitu kering dan
pengap. Nun jauh diatas sana, mega-mega nampak meremang dan pudar kemudian
menghilang berganti dengan hamparan permadani biru yang maha luas terbentang
berbalur berkas sinar matahari yang menyilaukan setiap mata yang mencoba memandangnya
dengan telanjang.
Bre sedang telentang dengan balutan kaos dalam dan
celana kolornya. Ia tak bisa tidur, udara yang terasa begitu panas dan juga
kipas anginnya yang sedang dalam masa perbaikan menjadi biang keladi ke-tidaknyaman-an
tidur siang Bre. Lamunan Bre melayang, mendadak ia merasakan sebuah ganjalan
yang sebelumnya ia tak pernah memperdulikan itu. Bayangan wajah manis Bu
Carissa melayang dan menyeruak di langit-langit kamar Bre dimana Bre sedang
telentang dan memandang kosong. Permintaan
TTM Bu Carissa tempo hari lambat laun dirasakan Bre seperti godaan besar
yang menghimpit tengkuknya. Ini sebuah kebiasaan baru diluar kebiasaan Bre
dalam memperlakukan wanita. Haruskah ia lalui hari-hari dengan kisah aneh
bersama Bu Carissa? Terngiang dalam telinga Bre suara Karen yang mengajaknya married, married, dan married. Terbayang pula senda gurau dan
tawa lepas Karen saat asyik bercanda bersama Bre saat menikmati liburan di Jogja
dan Pantai Parangtritis bareng teman-teman kuliah mereka 4 bulan yang lalu.
“Ohh...haruskah kujalani hari-hari ini tanpa ada Karen
disisiku? Mengapa kisah cintaku menjadi semakin buruk seperti ini? Aku siap
saja bila Bu Carissa menginginkan TTM, tapi permintaannya untuk merahasiakan
kedekatan ini dari para dosen dan teman-temanku sungguh membuatku merasa berat!!”
gumam Bre dalam hati dengan penuh kebimbangan menyelimuti seantero jiwa dan
perasaannya. “Apakah yang harus kulakukan???” gumam Bre kembali di sela lamunan
yang berkepanjangan dan tanpa ujung. “Bagaimana juga dengan Si Bidadari Angin
Timur a.k.a Keysha yang begitu menggoda hati ini dengan segala pesonanya itu??
Huufttt!!” batin Bre dalam hati.
Keringat deras mengucur di pelipis dan dahi Bre.
Sengat matahari belum juga berkurang. Suasana panas di dalam kamar semakin
membuat Bre kalut tanpa bisa menemukan jalan keluar yang terbaik bagi
hubungannya dengan Bu Carissa juga dengan gebetannya, Keysha Luna Djatmiko. “Sebenernya
siapa siih lelaki yang sedang membuat Ibu Carissa kesengsem? Jadi penasaran
neeh..”
Kerling binar matahari
seperti sedang tersenyum mengejek menghina. Derai panasnya seakan ingin
membakar dan memancing adrenalin untuk bertindak membuai amarah. Dingin hati
seperti tak kuasa untuk meredam gejolak rasa. Riang ini tersekat, terjerembab,
dan tersungkur dalam kebimbangan yang membahana. Berat hati ini untuk bisa
melangkah dalam alunan merdu dan ceria. Oh...entahlah...
Aku dan butiran keringat
ini seperti merasa sedang berkubang dalam ketidakberdayaan. Gelak ku sirna,
ceriaku hampa. Lingkup duka berkhayal pada indah kisah cerita. Bukan pilu,
bukan sendu, tapi suka...
Carissa...oh...Carissa...
Lebam hati ini mengais
cara demi kisah kita. Sendat langkah seakan menghalangiku untuk terus berjalan.
Gerak hati seakan menahan gulir bola cinta kita. Sesak kurasa melingkupi
sekujur jiwa, sebak melanda.
Tarian jemari Bre lembut berjalan melukiskan puisi di
buku hariannya yang telah usang. Si Gondrong Bre menyimpan sebuah potensi
dahsyat dalam melantunkan dan mengalunkan bait demi bait puisi lubuk hati.
Brian Kusuma Wardhana yang brilian dalam bidang akademik dan asah otak ternyata
juga demikian brilian dalam menorehkan suara hati dalam bait-bait puisi. Menuangkan
setiap masalah yang dihadapinya dalam kisah alunan puisi ala melankolis atau
bahkan ala pleghmatis yang damai. Psikologis kacangan pun akan bingung untuk
menilai pribadi seorang Brian Kusuma Wardhana bila telah membaca kumpulan puisi
karya Bre. Bisa jadi ia adalah seorang pemilik kepribadian di antara dua
kepribadian diatas. Namun bisa jadi Bre adalah seorang koleris atau bisa juga
dia adalah seorang sanguinis, jika kesemuanya itu merujuk pada tatanan kata dan
tarikan emosi dalam setaip bait puisinya.
Bre menyampaikan titik pada akhir puisinya dan
kemudian segera ia beranjak untuk mandi akibat udara yang demikian panas. Ia
berharap, dengan guyuran air dingin akan mampu membuat pikirannya kembali fresh
dan mampu berpikir secara lebih baik. Pikiran yang terus menerus dibimbing dalam kekalutan tidak akan mudah
mengupas suatu masalah, apalagi menemukan solusi bagi masalah tersebut.
Jam baru menunjukkan setengah tiga siang ketika
langkah ringan Bre berayun menyusuri jalan setapak menuju rumah Karebet, sohib super
duper kental. Siulan menyuarakan lagu Master of Puppets milik Metallica
mengiringi derap langkahnya.
“Bet...bet..bet..Karebet...!!!” suara Bre menirukan
suara Basir (sahabat Mas Karebet dalam kisah Jaka Tingkir). Tidak ada sahutan.
Bre sudah berpikir macam-macam. “Jangan-jangan dia lagi 'bertapa' seperti waktu
itu?” pikir Bre sambil melangkah ke bagian samping rumah Karebet.
Bre mendorong pintu rumah Karebet yang hanya tertutup
sebagian. Tak dinyana-nyana ternyata Karebet sedang asyik mendengkur sekeras bulldozer diatas kursi sofa ruang tamu.
Timbul niat jahil Bre untuk memberikan shock
therapy pada si tukang tidur.
“Malinggg...malinggg...!!!” teriak Bre di samping
telinga Karebet.
“Hahh...mana malingnya...mana malingnya???” Karebet
terbangun dan langsung berdiri memasang kuda-kuda seperti hendak bertarung.
“Ini malingnya..hahaha..hahahaa...,” ucap Bre geli, jarinya
menunjuk ke arah hidungnya sendiri sambil tertawa terbahak-bahak.
“Kampreettt!!! kurang ajar huhh...huhhh!!” umpat
Karebet sambil tangannya menjitak kepala Bre berulang kali hingga membuat Bre
meringis menahan sakit.
Nampak sekarang Bre duduk di atas bale-bale depan
rumah Karebet. Menyusul Karebet datang dengan membawa dua cangkir kopi panas
berikut sebungkus rokok filter kegemarannya.
“Apakah gerangan kiranya yang membuatmu demikian
bermumam durja wahai Adi-ku Arya Kamandanu?”
“Aku masih dibingungkan dengan hilangnya Dewi Nari
Ratih. Ku cari ia sejak dari Tanah Manguntur hingga Kerajaan Dhoho di Kediri,
namun tak juga kutemukan titik terang tentang keberadaannya duhai Kakang Arya
Dwipangga!! Lalu bagaimanakah dengan kisah cintamu bersama Mei Shin, Kakang?”
“Oh Mayapada...mengapa kau lumuri tanah ini dengan
darah??? Mei Shin memintaku menikahinya sejak aku menggagahinya kala itu. Padahal
kau tentu juga tahu Adi-ku, kala itu aku sedang mabuk setelah meminum tuak! Sudahlah,
sekarang ceritakanlah pada kakang tentang kisah perjalananmu bersama pedang
Nagapuspa hasil jerih payah Empu Ranubaya itu Adi-ku?”
“Bersama pedang Nagapuspa itu aku berhasil membantu
pasukan kerajaan Majapahit menghalau pemberontakan Rakuti dan Rasemi. Tapi
Kakang, tetap saja kisah cintaku tak dapat diselamatkan oleh pedang Nagapuspa
ini! Bahkan pesan Eyang Empu Ranubaya, pedang ini telah merasuk dan bersatu
bersama tubuhku. Kelak dikemudian hari jika aku memiliki putra, maka akan
tumbuh sisik di sekujur kulit tubuhnya laksana seekor ular naga Kakang!!!”
“Yang penting kamu harus lebih berhati-hati dengan
Empu Tong Badjil yang ingin menguasai pedangmu Adi-ku !!”
“Terimakasih Kakangku pendekar syair berdarah!”
DUERR!!! Tiba-tiba Nini Raga Runting dan Sapi Ompong
datang. Sapi Ompong mengeluarkan ajiannya, Ajian Rawa Rontek. Byarr!!!
Gedumpranggg!!! Gurauan Bre dan Karebet buyar setelah sekonyong-konyong datang
dua kakek-nenek tetangga sebelah yang awalnya mereka kira adalah Nini Raga
Runting dan Sapi Ompong. Sepertinya mereka terganggu dengan suara berisik Bre dan
Karebet yang beberapa waktu yang lalu telah berisik dengan aksi Wiro Sablengnya
dan sekarang kembali mengulang dengan kisah Tutur Tinular-nya. Si Kakek dengan
wajah merah padam karena marah tengah memukul-mukulkan sebuah panci usang ke
ujung bale-bale. Berkali-kali mereka memohon maaf kepada kedua pasangan
kakek-nenek itu dan mereka segera berlari masuk ke dalam rumah untuk melarikan
diri. Deraian tawa terbahak-bahak lepas dan meledak setelah mereka sampai di ruang
tamu dan duduk disana.
“Lu mo ngobrol apa sih Bre, kayaknya kok begimana
gitoh wajahmu?!” tanya Karebet begitu tawa lepas mereka habis ditelan perut yang
kaku akibat ulah tawa mereka.
“Jadi begini....” Bre berucap. Suasana hening
seketika. Semenit berlalu dalam keheningan.
“Ayo...!!!” bentak Karebet tak sabar.
“He..he..iya..iyaa!!” Bre terkekeh melihat bibir manyun
Karebet yang terlihat sewot.
“Jadi begini.....lu tahu kan bro kalau Ibu Carissa
sudah jinak sama gue? Masalahnya, karena terlalu jinaknya sekarang dia ngajak
TTM-an bro. Tanpa boleh ada seorang pun yang tahu hubungan kita. Tuh kan bro!
Runyam kan??!” lanjut Bre dengan wajah terlihat lebih serius daripada biasanya.
Dahi Karebet mengernyit, ia diam sejenak. Sepertinya
ia sedang memikirkan sesuatu menyangkut cerita Bre tersebut. Nampak wajahnya
sedikit menengadah keatas. Jari telunjuk kanannya menyembul seperti sedang
melantunkan sebuah puisi di panggung. Mulutnya sedikit monyong dan membentuk
huruf O.
“Bre...!! Itu yang gue khawatirkan dari ulah Don Juan
kadal seperti lu!! Tuh kan bener kejadian seperti yang gue perkirakan
sebelumnya!! Ah lu Bre, bikin masalah aja lu!” ucap Karebet kemudian melanjutkan
aksi mulut monyongnya. “Karen gimana? Terus Keysha juga gimana??” tanya Kerebet
dengan kening berkerut.
“Gue udah ga ada hubungan sama Karen..,” jawab Bre
singkat.
“Apaa??! Yang bener aja?!”
“Iya gue dah ga ada hubungan sama Karen. Sekarang dia
jalan sama Andi, Bet. Gini Bet, soal Keysha..dia tetep jadi buruan nomor satu yang
harus diamankan hahaha..” jawab Bre terkekeh tapi dengan raut muka bingung.
“Bet.. Gue ke sini bukan mencari hakim untuk mengadili gue..gue kesini curhat
bro..gue butuh masukan dari lu!!” sergah Bre dengan nada agak tinggi lengkap
dengan kernyit dahi dan kepalan tangan kanan yang erat didepan dada.
“Ok...ok...gue minta maaf...trus ngapain lu galau? Kan
lu paling mahir dalam hal TTM dan sebangsanya!!!” balas Karebet dengan
menggebu.
“Gini Begawan.. Cucu Eyang Shinto Gendeng ini kan baru
putus dari Karen. Nah.. Sekarang pewaris tunggal Tusuk Konde Perak Eyang Shinto
lagi deket ama cewek yang lebih tua, diajak main kucing-kucingan lagi. Apa ga
kelam tuh Begawan, masa depan pemilik Kapak Maut Naga Geni ini bersama Ibu
Carissa?” lanjut Bre bermuram durjana.
“Cucuku, dengerin Begawan Kerebet yang sudah malang melintang
didunia percintaan, yaa!! Menurut Begawan, mending Cucu udahin aja petualangan
bersama dosen killer itu!!! Apa
untungnya bagi Cucu selain cuma ingin mengejar nilai ujian saja? Cewek cakep
ada banyak di luaran Cucuku. Ngapain pusing-pusing ngurusin seorang cewek? Dimana
harkat dan martabatmu sebagai Pendekar Sakti, Cucu Shinto Gendeng dari puncak
Gunung Gede?? Satu lagi nih, Begawan Sakti dari padepokan Sidomukti ini abis
nge-save cerita bagus. Judulnya
‘Pacar Imitasi’. Cucuku baca deh sono, bagaimana sulitnya menyatukan cinta bila
si cewek lebih tua. Nih baca!!!” cerocos Begawan Karebet dengan panjang dan
lama mirip iklan coki-coki.
Bre terdiam beberapa saat mencermati setiap kalimat
yang tertulis di dalam cerita tersebut. Sesekali dahinya mengkerut seakan
memikirkan sesuatu. Sesekali pula senyumnya terkembang seperti sedang menikmati
sebuah banyolan OVJ di tivi.
Tiba-tiba Begawan Karebet bertanya, “Bagaimana dengan
Kapak Maut Naga Geni mu? Apakah kilatan peraknya masih menyala terang kala kau
kibaskan Mata Kapak itu untuk menghajar musuh?”
“Jelaslah Begawan. Masih berkilat menerangi jagat dan
silau pancaran sinarnya membutakan orang yang melihatnya, hanya Tusuk Konde
Perak Eyang yang sanggup menandinginya. Lho, kok malah bahas Kapak Maut Naga
Geni lagi siih?? Payaahhh luuu, Begawan Kampreett!!!”
“Yee.. Kenapa juga elu jawab, Bre??”
“Iyaa-yaaaa..,” jawab Bre polos dan langsung
menggaruk-garuk kulit kepalanya yang tidak gatal.
“Hahahahaha!!!!!!”
Teriakan tawa sepasang Pendekar sakti itu langsung
terdengar membahana di tanah Jawa Dwipa. Bre sadar kalau sohibnya ini emang paling
bisa bikin ketawa disaat dia dalam kegundahan. Sejenak Bre mampu melupakan
segenap beban yang sedang dia pikirkan. Tentang kepergian Karen, permintaan TTM
Ibu Carissa dan Si Juwita Hati, Keysha. Sahabat memang tak akan tergantikan, sekalipun oleh materi.
0 Komentar untuk "Juwita Hati: Permintaan TTM"
Untuk diperhatikan!!!
1. Dalam berkomentar gunakan bahasa yang sopan
2. Dilarang menyisipkan link aktif
3. Komentar yang mengandung unsur kekerasan, porno, dan manyinggung SARA akan dihapus